Selasa, 14 Desember 2010

Bukan Sayang Sesayang Sahabat


DEDIKASI SAYA
 KEPADA
 KE-EMPAT SAHABAT:
FEBRIYANTI DWI CAHYANI,
TITYAN SUKMA DEWI,
ILHAM NUGRAHA,
TRI SEPTYO PRABOWO,
DAN TOKOH-TOKOH
PENDUKUNG LAIN
YANG TELAH
MENGUKIR KISAH
SEBAGAI PENGALAMAN
MENJADI SEBUAH
“DILEMA KEHIDUPAN YANG NYATA”
PERKENALAN
1

B
ERSAHABAT tentulah bukan hal yang sulit, tapi ba-gaimana cara mempertahankan hubungannya, saya rasa itu adalah tantangan persahabatan. Seperti yang sekarang saya lakoni sebagai seorang pelajar kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Persahabatan seperti tak lepas dari keseharian saya yang merupakan seorang anak remaja yang membutuh-kan peran seseorang yang dapat mendengarkan, mema-hami, dan memberikan solusi terhadap problematika hi-dup seorang remaja.
Yang saya rasakan saat ini adalah bagaimana rasanya persahabatan yang sesungguhnya. Atau pada intinya bukan hanya sekedar sharing tapi juga bagaimana kita bisa menikmati keseharian kita sebagai anak remaja yang sedang mencari jati diri tanpa beban, selalu mencoba hal-hal baru, mulai merasakan cinta kepada lawan jenis, dan banyak hal-hal lain yang sulit untuk saya tuliskan bahkan diungkapkan lewat kata-kata.
Dan pada akhirnya saya (Anita Fitriani alyas Anita)  mempunyai empat orang sahabat. Mereka bernama Tityan Sukma Dewi, Febriyanti Dwi Cahyani, Ilham Nugraha, dan tak ketinggalan Tri Septyo Prabowo. Keempat orang sahabat ini memiliki watak yang sangat berbeda. Di tengah naskah, saya juga mencantumkan watak mereka masing-masing, agar mudah untuk digambarkan oleh teman pembaca.
Pada kisah ini, saya menuliskan bagaimana indahnya bersahabat, menyimpan rasa dengan seorang sahabat, suka dukanya bersahabat, yang pada intinya bertemakan ‘sahabat’. Dan tentu saja menceritakan ‘tentang saya dan sahabat-sahabat saya’. Juga menuliskan bagaimana kese-harian kita berlima saat di Sekolah ataupun di tempat lain-nya saat bersama.
Tokoh-tokoh yang saya ceritakan menggunakan nama panggilan sehari-hari. Seperti Tityan Sukma Dewi alyas Tyan, Febriyanti Dwi Cahyani alyas Feby, Ilham Nugraha alyas Ilham, dan satu lagi Tri Septyo Prabowo alyas Tyo.
Bagi saya mereka adalah sahabat yang paling klop, atau paling srek. Karena mereka mampu memahami karakter saya yang tomboy, egois, dan mudah ter-singgung. Mereka mampu mengimbangi sikap saya yang belum dewasa ini, ka-rena terlebih saya yang paling muda diantara mereka.
Mungkin Anda sebagai pembaca bertanya-tanya,
“Bagaimana awal kisah persahabatan saya ini? Dan bagaimana keseharian kita-kita sebagai seorang sahabat?”
Temukan jawabannya dengan cukup membaca kisah ini...
NAIK KELAS
2

S
ENANGNYA naik kelas. Tapi,  saya rasa itu kurang lengkap, karena sahabat saya tidak satu kelas kembali. Dia bernama Badriyyah Bilqis Fiawati Putri atau yang sering disapa dengan Bilqis. Ditambah lagi ia sekolah bagi-an siang, sedangkan saya sekolah bagian pagi.  Sebenarnya saya berat sekali menerima itu, tapi apa boleh buat, itu ada-lah aturan sekolah. Padahal masih banyak orang lain yang melakukan ‘barter’ kelas, agar bisa satu sip dengan teman-nya meskipun tidak satu kelas. Tapi, saya tidak seperti teman-teman saya yang lain, saya hanya ber-positif thinking, jika saya pasti akan menemukan sahabat baru yang lebih baik dari sebelumnya tentunya.
Memang beberapa hari belajar tanpanya, serasa ada yang kurang pada hidup saya, seperti hampa diruang gelap. Karena waktu kita sekelas dulu, kita kemana-mana selalu bareng-bareng. Dimulai dari berangkat sekolah, pulang se-kolah, sampai jajan pun kita bareng. Tapi, itu dulu sekali se-belum ia berpacaran dengan seorang laki-laki yang bernama Ahmad Faris Al Dzulfikar. Faris ini adalah teman sekelas saya dan Bilqis.
Faris adalah laki-laki yang pintar dan paling mementing-kan sekali soal penampilan. Dari sejak itu, sahabat saya inginnya selalu dekat-dekat Faris. Memang dasar pacaran, harus bareng-bareng terus kali ya?
Pada waktu itu, saya memang sedang berpacaran de-ngan seorang anak laki-laki bernama Kevin Ismail. Dia berbeda kelas dengan saya, dimana dia kelas 7A sedangkan saya kelas 7C. Cowok ini orangnya cuek-ek-ek sekali sama saya, seperti tidak memperdulikan saya. Padahal saya ini kan pacarnya!
Meskipun saya punya pacar yang rumahnya lumayan ber-dekatan, tapi bukan berarti saya sering pulang bareng sama dia. Satu kali pun saya belum pernah. Akhirnya saya pulang, yaaa… dengan si Bilqis. Tapi yang jelas saya dan Kevin seka-rang hanya sebatas teman biasa. Dikarenakan suatu hal yang membuat saya illfeel. Padahal Kevin ini termasuk cowok humoris, bahkan sekarang adik kelas banyak yang naksir, tapi entah kenapa saya tidak bisa memaklumi keku-rangan yang ia punya.



















                                 

AWAL PERSAHABATAN
3

M
ESKIPUN saya tidak bisa bareng-bareng lagi dengan si Bilqis, akhirnya saya menemukan 2 orang sahabat baru. Mereka bernama Tyan dan Feby. Dulu waktu kelas 7, mereka memang satu kelas, ma-kannya mereka sudah akrab sekali. Waktu kelas 7 dulu, Feby ini kelihatan-nya jutek, tapi semenjak saya kenal de-ngannya, seperti amplop dan perangko. Kemana-mana bareng terus, tentu-nya bersama Tyan. Kalau Tyan sih, memang sudah kenal dari sejak dulu. Hanya saja dulu belum terlalu akrab.
Tyan kenal dengan saya pada saat ia masuk ekstrakuli-kuler yang sama dengan saya, yaitu volley. Karena lama-kelamaan sering bertemu akhirnya kita kenal dan sapa-menyapa pun selalu hadir bila kita bertemu.
Lalu disusul oleh Feby. Saya kenal dengan Feby juga se-menjak masuk estrakulikuler volley. Pada awalnya, untuk menyapa cewek ini pun masih canggung karena saya belum tahu karakter yang sebenarnya.

·         WATAK FEBY DI MATA SAYA…
Jujur saja, Feby ini memiliki wajah yang jutek. Tapi sebe-narnya baik lho. Ia mampu menirukan suara siapa saja. Selain itu, ia terlihat lucu, jika sedang tertawa, karena mata-nya sipit. Sampai-sampai ia pernah ditegur saat bermain volley gara-gara ketawa sambil merem.
Selain itu, setiap datang ke sekolah, selalu ngareettt. Ia selalu berkata jika keterlambatannya ke sekolah itu karena salah kakaknya. Orang lain sudah pada datang, sedangkan dia baru datang. Ditambah biasanya jika ada PR, dia belum. *) Tapi saya juga kadang gitu sih. JANGAN DICONTOH!
“Feb,” kata saya sambil menengadah melihat wajah-nya, lalu ia yang masih menggendong tas pun meng-hampiri saya, “udah belum,” tanya saya sambil menunjukan PR.
“Belum,” katanya sambil melihat buku saya.  Kemu-dian ia langsung menyimpan tasnya di kursi sebelah Tyan dan langsung bergegas mengeluarkan buku PR dan kemudian mengerjakan sambil melihat hasil pekerjaan orang lain. *) Sama seperti saya kalau belum PR pasti liat hasil orang lain, hehehehehehe… JANGAN DICONTOH!
Sudah begitu, dia selalu buat saya tertawa. Terlebih saya orangnya gampang tertawa. Ia juga tidak pandai berlari, pa-dahal berlari itu kegiatan yang mudah. Ketika itu, ceritanya saya mau jahil sama Feby, ia berlari tapi kemudian berhenti dan ia berkata “Nit, aku mah nggak bisa lari, jadi aku mah lebih baik ngalah dari pada lari.” Dari situ saya bukannya berhenti, tapi malah tambah usil. *) Peace A.
Bagi saya dan Feby, tiada hari tanpa ke toilet. Karena setiap KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) kita selalu me-luangkan waktu untuk pergi ke tempat yang kita sebut ‘Markas’. Padahal disana kita belum tentu kita berdua buang air, biasanya kita hanya berkaca lalu diam seben-tar dan akhirnya balik lagi ke kelas. Jika dihitung, kita ke toilet tidak pernah kurang dari empat kali. Sampai-sam-pai kita berdua pernah ditegur sama Ulfah dan Zulfa (anak kelas siang), gara-gara setiap ketemu pasti di toilet, atau nggak berpapasan saat pulang dari toilet.
Kita selalu melakukan itu karena terlebih Feby orangnya nggak betah dengan suasana yang sama. Ia selalu ingin yang baru dan teruslah baru.

·         WATAK TYAN DI MATA SAYA…
Tyan ini memiliki sifat keibuan. Maka, di sekolah ia di panggil dengan sebutan ‘Mamah’. Ia juga termasuk cewek yang lemah lembut dan baik hati. Selain itu, ia juga orang-nya pengertian, bisa jadi tempat curhat yang baik. Ia sangat-sangat feminine, berbeda dengan saya yang kadang femi-nine dan kadang juga tomboy. Maka nggak heran Ilham ter-pesona sama Tyan karena hal ini. *) Lebay.
Berbeda dengan Feby, yang selalu bulak-balik ke toilet. Tyan ini orangnya malas terhadap hal-hal yang tidak penting menurutnya. Makannya, setiap saya dan Feby ke toilet, Tyan tidak pernah ikut. Yang biasanya ngikut-ngikut sih Feby. Pasalnya, jika saya dan Tyan izin ke toilet, pasti Feby juga ikut-ikutan. Tapi saya juga sering ngi-kut-ngikut mereka kalau pergi ke Toilet.
SAHABAT BARU
4

S
ELAIN Feby dan Tyan, memang saya punya sahabat selain mereka. Namanya Ilham dan Tyo. Saya dengan Ilham memang sudah akrab sebelumnya, karena dialah yang mempertemukan saya dengan Kevin Ismail (sang mantan).
Memang saya dengan Ilham dan Tyo tidak sedekat Tyan dan Feby tapi bagaimana pun mereka tetap SAHABAT.
Saya sering memanfaatkan mereka; Ilham saya manfaat-kan untuk teman berkelahi saya. Tapi sayangnya Tyo belum saya manfaatkan karena ia orangnya terlalu kalem   .

·         WATAK ILHAM DI MATA SAYA…
Ilham ini memiliki sifat “kadang-kadang”. “Kadang-kadang” disini maksudnya kadang ia baik kadang juga “agak baik”. Tapi, ia juga sama seperti Tyan, bisa jadi tem-pat curhat. Rahasia pasti dijamin. Bagi saya, itu sudah cu-kup lumayan, karena rata-rata laki-laki itu sulit untuk jaga rahasia.
Ilham ini merupakan pacar salah satu sahabat saya juga lho. Tak bukan dan tak lain, Tityan Sukma Dewi. Perbedaan usia Ilham yang lebih muda dari pada Tyan ini sangat men-colok sekali, terlebih Ilham bersifat agak ke kanak-kanakkan sedangkan Tyan bersifat lebih pada kedewasaan.
Dari wajah cowok kelahiran 24 maret 1997 ini tersirat jika ia seorang cowok yang pendiam. Tapi sebenarnya, ia ter-masuk orang yang agresif.
Mudah tersinggung dan so’ jagoan (temprament) adalah sifat aslinya. Selain itu, jika sedang baik wajahnya lugu, tapi jika sedang marah? Bikin orang kocar-kacir karena lihat tampangnya yang menyeramkan.

·         WATAK TYO DI MATA SAYA…
Cowok ini, bawaannya santai. Wajahnya lesu tak bergai-rah. Padahal ia jago dalam bulu tangkis.
Dari fisik, laki-laki ini memiliki kulit sawo matang. Sela-in itu, badannya tegap, meskipun kalau sedang berdiri pasti kakinya menekuk sebelah. Pernah saya bahas hal itu pada-nya.
“Yo, kamu bisa gak kalo berdiri kakinya lurus?”
Lalu ia meluruskan kedua kakinya, dan menjawab,
“Ih udah kebiasaan.” Sambil menekukan kembali sebe-lah kakinya.
Dari situ saya baru menyadari bahwa yang saya tanya-kan pada Tyo ternyata menyinggung hatinya. Tapi itu juga berguna untuknya, agar bisa berdiri tegap sempurna. Seperti ayahnya, polisi. *) Numpang promosi.
Satu hal yang buat saya kagum pada cowok keturunan suku Jawa ini: setiap satu perkataan yang diucap olehnya pasti saja membuat gelak tawa seorang sahabat-sahabat-nya. Dari situ, Ilham mengatakan jika Tyo ini sangat pantas bila menjadi seorang pela-wak/komedian, meskipun wajah-nya sedikit tidak mendukung.
Selain itu ia juga senang dengan keramaian. Jika suasa-na mulai meredup ia langsung hengkang menu-ju tempat ramai.
AGAK ANEH
5

D
ULUUU sekali, saya dengan Tyo tidaklah dekat. Meskipun kita satu kelompok bukan berarti kita suka mengobrol. Menyapa pun boro-boro. Tapi semenjak suatu kejadian… saya jadi lumayan dekat dengannya. Tegur sapa diantara kita, seperti hal yang tak asing, pa-dahal se-belumnya tegur sapa tidak tercantum dalam kisah persaha-batan saya dengan Tyo. Begini ceritanya :

MENGHAFAL BAHASA INDONESIA…

Pada hari jum’at kira-kira tanggal 17 September 2010. Di sekolah, kelas 8a pada pelajaran ke 2 adalah Bahasa Indonesia. Saat itu, materi yang dipela-jari adalah mengenai ‘denah’. Pada saat itu pula semua siswa harus bisa mempresentasikan ‘denah rumah menuju sekolah’. Saat itu saya belum terlalu hafal. Lalu saya hapalkan terlebih dahulu arah-arah dari rumah menuju sekolah. saya kadang lupa, mana utara, timur, selatan, barat; bahkan menentukan mana kanan atau kiri saya sering terbalik.
Ketika saya sedang menghafal, saya melihat kesebe-lah kiri saya karena saya kebetulan sedang duduk di ujung kanan barisan. saya mendapati Tyo sedang me-lihat kearah saya. Begitu saya pasti jika ia sedang melihat saya, saya langsung menengok ke arahnya. Ia langsung tertawa melihat cara saya menghafal. Kemu-dian ia memanggil Ilham, yang kebetulan teman seba-ngkunya. Yang saya tahu ia hanya memanggil Ilham sambil tertawa “Ham, ham,” dan langsung memaling-kan muka pada Ilham. Sepertinya ia berkata sesuatu pada teman sebangkunya itu. Dan Ilham pun langsung menengok ke arah saya sambil tertawa juga.
Selagi begitu, Tyo juga memperagakan bagaimana saya menghafal. Muka saya memerah karena malu. Akhirnya saya menghafal dengan membelakangi Tyo dan Ilham.

Tapi entah mengapa, semakin hari kita dekat seperti ada yang lain di hati saya. Rasanya “BUKAN SAYANG SESAYANG SAHABAT”, tapi saya rasa itu lebih dari sekadar teman. Ada sebuah perasaan yang menggebu-gebu. Tapi saya juga tidak langsung mengatakan bahwa yang saya rasakan itu adalah “cinta” saya menganggap itu hanya “perubahan” biasa.
BERMAIN SAMBIL BELAJAR
6

KELOMPOK SENI BUDAYA DI RUMAH SAYA
(SELASA, 28 September 2010)

K
ARENA ada sebuah tuntutan guru Seni Budaya yang bernama Ibu Jubaedah untuk mempresentasikan me-ngenai musik, maka kelompok saya yang terdiri dari: Tyan, Feby, Ilham, Tyo, Sheny, Kurniawan dan tentunya saya sendiri melaksanakan sebuah latihan.
Karena kebetulan rumah saya di Cibiru, sedangkan seko-lah saya di Ujung Berung (SMPN 8 Bandung) maka kita ber-enam (tidak dengan Sheny, karena saya suruh untuk tidak ikut) menaiki sebuah angkutan umum jurusan Cicaheum-Cileunyi. Di sepanjang jalan, pandangan saya tak lepas untuk memandang Tyo. Gayanya yang menumpangkan ke-palanya pada tekukan tangan kanan, seakan sulit untuk dilupakan.
Tak terasa kita turun di depan Sekolah Dasar, yang meru-pakan Sekolah saya dulu. Setelah itu, kita menyebrang dan langsung masuk gang. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga.

W¥X

Semua kelelahan. Mungkin baru pertama kali main ke rumah saya yang letaknya agak jauh dengan jalan raya. Semua langsung membuka sepatu kecuali ke-tiga anak laki-laki. Mereka malah bersandar sambil masih menggandong tas mereka masing-masing. Sedangkan saya pun diam seje-nak untuk melepas penat setelah ± 5 jam belajar di seko-lah.
Lalu saya mengeluarkan semua alat-alat musik saya seperti: gitar, bass, piano kecil,dan recorder.
Ketika saya sedang bermain piano, saya mengetes Tyo. Yang semula ia sangat cuek pada saya, dan seka-rang akan-kah terjadi perubahan? Ternyata, perubahan itu nyata ada-nya. Saat saya ingin menyalakan piano, saya menyuruh Tyo untuk memasangkan kabel piano pada stop kontak,
“Tyo,” panggil saya pada Tyo, “Tolong colokin ke stok kontak?” sambil menyodorkan kabel padanya.
Alhasil ia melakukan apa yang saya katakan padanya ba-rusan, meskipun sebelumnya ia enggan untuk melakukan-nya. Hmppphhh, itulah bukti pertama adanya perubahan yang nyata.
Kemudian, saya, Tyo dan Kur berebut memainkan piano; Feby sms-an dengan si Aa (Rizal Hadyan Fadlillah; pacar Feby); Tyan-Ilham sibuk mengerjakan Seni Budaya.
Karena saya, Tyo, dan Kur berdesakan, gelas yang berisi air yang berada di sebelah Tyo jatuh dan airnya meluber me-ngenai karpet yang menjadi alas duduk. Ke-jadian tersebut membuat Tyan-Ilham jengkel; mereka berdua sibuk menger-jakan sedangkan saya, Tyo, Kur malah ribut memperebut-kan piano. Akhirnya semua diam, termasuk Feby yang se-dang sms-an. Semua jadi terfokus kepada apa yang diker-jakan Tyan-Ilham, kecuali saya. Otak saya yang sedang ber-main, rupanya tidak bisa di ajak berfikir. Rasanya sulit sekali untuk berfikir. Tapi saya pura-pura mengerti saja apa yang Tyan-Ilham-Feby katakan. Dari pada kena semprot Ilham, yang sekali semprot lang-sung semua basah.
Selepas itu, waktu baru menunjukan pukul 14.00 WIB. Tyo sudah mengajak yang lain untuk pulang karena takut motornya yang disimpan di tempat parkir Kantor Kecamatan Ujung Berung hilang. Ia terus saja meronta ingin pulang. Namun untungnya saya berhasil membujuk untuk tidak se-gera pulang, dengan alih-alih makan dulu. Saya kemudian memesan bakso se-banyak enam mang-kok.
Sesampainya bakso dirumah, saya langsung mem-bawa mangkok dan sendok di dapur. Lalu kem-bali lagi ke teras rumah untuk membagikan bakso. Dalam dua buah kantong keresek, di salah satunya terdapat ‘lada’ (pedas (bahasa sunda); orang-orang menyebut demikian karena rasanya yang lada (pedas)). Dasar si Ilham, ia memberikan Tyo se-plastik-kecil-penuh lada. Lalu Tyo mengerutkan dahinya dan terlihat pasrah menerima hal itu, dan akhirnya Ilham mem-berikan satu bungkus bakso pa-da Tyo; karena katanya ‘watir’.
Saat semua masih mencoba membuka bungkus bakso tersebut, hanya Tyo yang sudah behasil membuka.
“Ahh, da Si Tyo mah tukang bakso matak geus ahli la-mun muka bungkus baso teh,” celetuk Ilham sambil ter-tawa.
Semua menjadi tertawa akibat perkataan Ilham baru-san. Tak lama kemudian, semua pun melahap bakso yang saya pesan tadi. Meskipun sedang makan, senda-gurau dan canda-tawa masih saja ada.
Tanpa terasa bakso habis, pertama kali yang habis adalah Tyo.
“Tuh kan ari tukang baso mah gancang makan baso na oge,” celetuk Ilham lagi, dan semua tertawa.
Setelah Tyo, lalu disusul oleh saya, Kur, Ilham, Tyan dan terakhir Feby; suasana hening sesaat setelah semua meng-habiskan semangkuk bakso.
Setelah diam sejenak Ilham mengajak kami semua ber-main ke sawah, karena kebetulan rumah saya terletak dekat sawah. Meskipun sedikit panas, tapi tak menghalangi niat Il-ham untuk bermain di sawah.
Saya kira bermain di sawah akan menyenangkan, tapi ternyata tidak. Tyo malah pulang karena alasan motornya. Kemudian disusul oleh Kur.

W¥X

Di sawah, Ilham yang belum menggunakan sepatu beru-bah pikiran yang tadinya ingin memakai sandal, sekarang malah ingin pakai sepatu.  Dasar aneh. Setelah Ilham me-makai sepatunya, Ilham mengajak kita bertiga (saya, Tyan, dan Feby) pergi ke tengah sawah. Kita ber-empat yang di pimpin oleh saya, ber-jalan menyusuri jalan-jalan setapak sawah.
Ketika berada di timur sawah, karena sawah dengan jalan hanya berbataskan sungai kecil, saya melihat Tyo se-dang berjalan menyusuri jalan di sebelah barat sawah.
Lalu kita melanjutkan perjalanan menyusuri jalan seta-pak sawah. Tyan dan Feby rupanya tertinggal jauh de-ngan saya dan Ilham. Mungkin karena mereka perem-puan, se-hingga untuk berjalan pada jalan setapak sawah lamanya bukan main. Jadi, saya dan Ilham harus me-nunggu mereka agar bisa jalan ber-empat lagi.
Baru sampai setengah jalan, Tyan dan Feby memin-ta kembali ke rumah. Karena saya juga tak tahu. Mungkin rute-nya yang sulit sehingga membuat mereka takut ja-tuh dan akhirnya berjibaku dengan lumpur atau… entah apa-lah. Karena begitu, saya dan Ilham memutuskan untuk menuruti kedua “princess” ini.
Tak lama kedua “nyonya princess” meminta pulang. Dan untuk kedua kalinya, Ilham menuruti apa yang di inginkan Feby dan Tyan. Akhirnya tepat pukul 16.00 WIB mereka be-rangkat dari kediaman saya. Saya pun ikut mengantarkan mereka ber-tiga ke depan gang.
Saat diperjalanan saya teringat tentang perubahan Tyo. Dengan bimbang dan canggung saya menceri-takan hal ini pada Tyan.
“Yan?”
“Hm?”
“Aku téh ngerasa aneh sama Tyo.”
“Aneh Gimana?”
“Ya kan dulu mah si Tyo téh asa nggak pernah merhatiin aku.”
Merhatiin?”
“Iya, pertamanya mah waktu pas pelajaran Bahasa In-donesia, aku téh lagi ngapalin buat presentasi. Nah, ki-rain téh nggak ngelitain, tapi ternyata dia ngeliatin aku…”
“Oh yaudah nanti kita liat aja besok.”
Tyan adalah orang pertama yang mengetahui jika saya mulai mengagumi pria berkulit hitam ini. Sebelumnya, saya tidak mengakui hal ini pada siapa-pun; saya tak ingin me-nyukai seseorang dulu, apalagi dengan sahabat sendiri.
Saya ragu untuk memberitahu hal ini, karena saya takut jika Tyan akan memberitahu pada Ilham dan Ilham akan memberitahu Tyo tentang hal ini. Saya takut jika Tyo me-ngetahui hal ini, nantinya Tyo akan menjauh dari saya. Tapi harus bagaimana lagi, saya harus mencoba berterus terang kepada sahabatku ini.
Saat saya memberitahu tentang ini, Feby dan Ilham pena-saran sekali. Sepanjang jalan, mereka memaksa saya agar mengatakan apa yang sedang saya bicara-kan dengan Tyan. Namun saya tak bisa memberitahu kepada mereka, karena saya tak mau yang lain tahu, “cukup-lah Tyan seorang”.
Namun keesokan harinya, Feby dan Ilham mengetahui hal ini, karena saya yakin pasti mereka memaksa Tyan untuk memberitahu mereka pada saat di Angkutan Umum kemarin. “Ya sudahlah tak apa, cuma mereka ini,” pikirku dalam hati.


KEESOKAN HARINYA…
(RABU, 29 September 2010)

Di sekolah, kita belajar seni budaya.
“Ibu pesan kepada anak-anak,” katanya dengan suara le-mah lembut, “minggu depan kalian harus mempresentasi-kan mengenai musik...”
Belum selesai guru tersebut berbicara Feby langsung menyorongot.
“Nit,” panggil Feby dengan wajah agak memelas, dan pada saat itu juga teman-teman sekelompok saya tertuju pada omongan Feby barusan, “latihannya dimana?”
“Eh,” sepersekian detik kemudian saya melanjutkan, “Emang udah tau lagunya?”
“Iya ih,” sahut Tyan, “Sok ngaco si Feby mah. Percuma ada tempatnya tapi nggak tau lagunya mah?”
Éta wéh, manuk dadali,” kata Ilham dengan wajah santainya, “babari atuh éta mah.
“Udah nanti aja lah,” saya berang, “dengerin dulu perin-tah si Ibu!”
Dan langsung mendengarkan kembali pembicaraan Bu Jube yang tadi sempat tertunda karena Feby yang memulai berbicara.
...nanti minggu depan harus udah siap ya? Lagunya nggak boleh sama. Trus’ harus di aransemen dulu…”
Enggeus lah, laguna manuk dadali wéh,” geram Ilham.
“Sssttthhhhh,” sahut Tyan, “berisik Ilham!”
“…silahkan sekarang tentukan lagunya.”
Setelah Jube berbicara, kelompok saya langsung ribut: membicarakan lagu yang akan di tampilkan minggu de-pan.
Sok mau lagu apa?” kata saya, “yang gampang aja wéh…”
Heueuh, ceuk urang ogé naon?” Ilham masih ngotot, “Manuk Dadali!”
Éta Manuk Dadali meni keukeuh!” sahut Tyan sambil melirik tajam pacarnya sambil membuka lembaran-lembaran buku lagu-lagu daerah.
Lalu suasana hening  sejenak. Dan keheningan terpecah oleh suara cempréng Feby.
“Ah ini ,” katanya sambil masih melihat hala-man-halaman buku yang dipegang Tyan, “Yamko-Yamko…”
“YAMKO RAMBE YAMKO‼!” geram saya.
Tah éta,” jawabnya setengah malu.
“Trus’ latihannya mau dimana? Kapan?” tanya saya.
“Di rumah si Nita wéh?” kata salah seorang kelompok saya.
Dan akhirnya latihan kedua dilaksanakan di tanggal 4 Oktober 2010.

W¥X

Sepulang sekolah, pada saat saya sudah hampir sam-pai di rumah tante saya, Feby mengirimkan pesan  kepa-da saya yang isinya “Nit, aku sama yang lain ke-rumah kamu ya? Ingin main.” Lalu saya balas dengan kata-kata bermaknakan ‘silahkan’.
Yang datang kerumah saya adalah Tyan-Ilham, Feby-Rizal, dan Yoga. Setibanya di rumah saya, mere-ka diam sejenak. Eh… si Yoga mengajak Rizal ke rumah Satria. Sudah beberapa kali saya melarang mereka untuk pergi ke-sana, tapi mereka tetap saja ngotot ingin pergi. saya mela-rang mereka karena:
1) Rumah Satria lumayan jauh;
2) Sedang tengah hari;
3) Panas;
4) Jalan kaki.
Tak lama Yoga mengirim pesan “Nit, kalo dari sini ke-mana lagi? aku udah sampai di pilar biru raya.” Baru kira-kira lima menit, mereka sudah sampai di Pilar Biru? Padahal saya saja harus membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai disana.
Karena saya khawatir takut mereka tersesat, dan terlebih saya tidak tahu banyak mengenai daerah itu, akhirnya saya menyusul mereka berdua bersama Feby, Tyan-Ilham.
Segera saya berlari menuju tempat itu, di ikuti Feby dan Ilham-Tyan. Namun setelah saya sampai di Pilar Biru, saya belum bertemu dengan mereka berdua. Tapi begitu saya jalan sedikit ke arah barat  saya lang-sung menemukan Yoga dan Rizal sedang mondar-mandir di tengah jalan sepi. Lalu segera saya menun-jukan jalan mana yang harus dile-wati untuk sampai di rumah Satria.
Sekitar setengah jam lebih perjalanan menuju rumah Sat-ria dari rumah saya. Ketika sampai di sana Yoga memanggil Satria dari luar rumah:
“Satriiaaaaaaaaaaaaa…”
Namun tak ada yang menyahut. Yang menyahut malah anjingnya. Lalu saya berteriak:
 “Satriaaaaaaaaaaaaaaa....” Lalu ada seorang perem-puan dewasa keluar yang kuyakini itu adalah ibunya. De-ngan logat-jawa ia berkata:
“Ohh, Satrianya belum pulang. Katanya kerja kelompok. Handphone-nya juga nggak dibawa.”
Beeuhhhhh, sakiiiiiiiiiitttttttttttttt hati. Udah capek-capek, eh orangnya kaga ada. Lalu si Yoga mem-foto rumah Satria bersama anjing penjaga yang diletakkan di depan pintu ger-bang. *) Iseng.
Kemudian kita ber-enam melanjutkan perjalanan pulang. Karena lelah kita beristirahat dulu di sebuah kontrakan kosong. Hanya sebentar kita beristirahat disitu dan akhirnya melanjutkan kembali perjalanan.
Lalu kita singgah di sebuah warung untuk membeli sesu-atu yang bisa melegakan dahaga. Setelah dari warung, kita mengambil jalan pintas (ceritanya biar nggak capek, tapi menurut saya sama saja). Baru sekitar dua puluh langkah, kita menemukan sebuah pos kamling. Kita duduk lagi disitu sambil menghabiskan minuman.
Kemudian perjalanan pun dilanjutkan kembali.

W¥X

Setelah sampai di rumah, semua masing-masing. Tyan-Ilham tiduran, Feby-Rizal ngobrol-in handphone, dan si Yoga main gitar. Haduuuhhh saya main sama siapa? Ya sudahlah saya main handphone si Yoga saja. Baru beberapa menit, Ilham langsung mengajak ke sawah lagi. Katanya belum puas.
Kemudian saya turuti apa kata Ilham. Kita semua bermain disawah, sambil berfoto-foto… *) Nggak ada kerja-an. Setelah puas bermain, mereka ber-lima (kecuali saya) mengalami gatal-gatal. Karena di sawah, tadi kita ber-enam bermain dengan tumpukan jerami. Lalu, karena hari men-jelang sore, semua mengajak pulang.
Tapi sebelum pulang, dasar si Yoga maruk: ia makan sambil membawa kaleng biskuit ‘KONGGUAN’ ke luar pagar rumah. Semua tertawa atas hal ini.
Akhirnya hari itu ditutup dengan keceriaan bermain di sawah.
MENCARI KESEMPATAN DI KESEMPITAN
7

S
EPERTI yang sudah saya katakan sebelumnya, jika kelas 8A mendapat tugas dari guru Seni Budaya untuk mem-presentasikan mengenai musik. Maka dari itu, latihan dilanjutkan tanggal 4 Oktober 2010. Hari itu sungguh saya bahagia sekali. Kita mulai sejak pulang sekolah.
Sepulang sekolah, kita ber-enam (saya, Tyan, Feby, Ilham, Tyo, dan Kur) berdiam sebentar di depan ruang guru. Kita sedang menunggu Sheny yang sedang membeli recorder di Pasar. Memang sih lumayan lama.
Saat kita menunggu, semua berkumpul kecuali Tyo. Ia se-pertinya menyendiri. Bayangkan saja, ketika Ilham dan Kur sedang duduk dan bersenda gurau dengan anak laki-laki ke-las 8B, Tyo malah berdiri dan diam. Saya aneh melihat ini. Lalu, saya bertanya kepada cowok bertampang lesu ini.
“Yo, kenapa nggak gabung sama Ilham, Kur?”
Ia hanya menjawab dengan menaikan bahunya. Kemu-dian saya mencari kesempatan dalam kesempitan. Karena kebetulan tempat duduk sudah penuh, dengan terpaksa saya berdiri di samping Tyo sambil bersandar pada tembok.
Sedang asyik-asyiknya, Sheny datang. Euh, dasar itu anak, nggak tau kalau saya lagi cari-cari kesempatan. Tyo langsung hengkang dari samping saya, dan langsung pergi dengan yang lainnya.
Karena sekolah kita agak jauh dengan jalan raya, maka kita harus melewati Alun-Alun Kecamatan. Saat sedang ber-jalan menuju jalan raya pun, tak lupa saya mencari-cari ke-sempatan agar bisa berduaan. Alhamdulillah, ternyata ter-capai. *) Bangga!
Ketika itu, kita jalan berpisah antara perempuan dan laki-laki, tetapi masih satu deretan. Saya berada paling timur di-antara Sheny-Tyan-Feby dan Tyo pun sama: ia berada di pa-ling timur, diantara Ilham dan Kur. Melihat situasi yang de-mikian, saya memiliki ide untuk mendekati Tyo. Pertama-tama, saya memperlambat langkah kaki saya. Setelah semua berada di depan saya; kira-kira dua langkah, segera saya menyerobot antara Feby dan Tyo. Waktu itu, mudah sekali melakukan itu; terlebih jarak antara deretan perem-puan dan laki-laki agak jauh. Yesss, saya berhasil. *) Bangga!
Tapi sayang, kejadian tersebut tidak berlangsung lama, karena kita sudah sampai di pinggir jalan raya.
Seperti biasa, kita ke rumah menggunakan angkutan umum (angkot). Tak lama ada angutan umum lewat. Untung-nya, kendaraan tersebut lumayan kosong. Tetapi, sebelum angkot tersebut berhenti sempurna, saya melihat didalam angkot tersebut sosok seseorang yang sepertinya saya kenali.
Tanpa pikir panjang, Ilham langsung masuk disusul Tyo-Kur-saya-Feby-Tyan. Begitu saya duduk, ternyata sosok ter-sebut adalah Satria. Mendadak jantung saya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Karena memang dulu, saya per-nah suka dengan laki-laki yang bernama lengkap, Satria Bagustiady ini. Tapi itu dulu, sebelum saya menemukan Tri Septyo.
Oh my God, Kenapa harus seangkot sama orang ini? Pikir saya dalam hati. Dan kebetulannya, saya duduk tepat di de-pan Satria. Emppphhh, rasanya nggak enak banget. Udah satu angkot, mana duduk berhadapan. Wah kacaunya bu-kan main. Tapi saya terus menenangkan diri, agar yang lain tidak curiga jika saya sedang rarungsing.
Akhirnya sampai juga di depan Sekolah Dasar. Lalu saya meminta Pak Satpam untuk menyebrangkan saya dan kawan-kawan. Saat saya berada di paling barat, diantara teman yang lain, Tyo langsung menyerobot ke sebelah saya. Tak lama, kita langsung menyebrang.
HARI TERKENANG
UNTUKKU
8

S
ETELAH kami sampai di seberang jalan, kami masuk ke gang rumah. Saat itu, aura-aura menyenangkan menye-limuti hati saya. Mengapa demikian? Ketika itu belum jauh dari jalan raya, lagi-lagi kita jalan berkelompok: di pa-ling depan ada Sheny diikuti Tyan-Feby di barisan tengah dan paling belakang ada saya-Tyo-Ilham. Kur tidak jadi ikut, karena dihasut oleh Satria dan Naufal (teman sekelas Satria).
Entah mungkin sengaja atau tidak, Ilham tiba-tiba ada di paling depan. Sehingga meninggalkan saya dan Tyo di-bela-kang. Akhirnya lagi-lagi keinginan saya tercapai.
Kira-kira sudah seperempat jalan menuju rumah, Ilham mulai dengan banyolan-banyolannya yang kocak. Karena sa-king lucunya membuat kita semua tertawa, termasuk saya dan Tyo. Tak disadari saya dan Tyo tertawa sambil melirik satu sama lain. Sontak kejadian tersebut membuat hati saya terguncang.
Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya Ilham membuat le-lucon. Sampai-sampai kita semua hanyut ke dalamnya. Dan tidak menyadari jika tujuan sudah berada didepan kita.

W¥X

Sama seperti kemarin, anak laki-laki yang datang ke rumah saya langsung bersandar di tembok sambil masih menggandong tas mereka masing-masing. Seketika itu, Il-ham langsung membuat suasana yang hening menjadi ricuh.
Saat itu saya sedang di dalam rumah untuk berganti pakaian. Terdengar suara bahakan Ilham yang menggelegar. “Dasar tu anak, gak dimana-mana ketawa gak bisa dijaga,” kata saya dalam hati.
Kemudian saya segera keluar untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan. Saya langsung mempersi-lahkan mereka masuk ke dalam rumah.
Lagi-lagi hal yang tak terduga terjadi. Kursi-kursi sudah penuh diduduki para sahabat. Hanya Tyo saja yang tidak du-duk di kursi. Padahal ia bersandar pada kursi kosong. Aneh!!
Karena niatnya ingin perhatian, saya menyuruh Tyo untuk duduk di kursi. Tapi ia enggan untuk melakukannya. Saya terus memaksa, padahal dalam hati justru harus duduk di karpet: supaya saya bisa menemaninya duduk. Bagi saya, itu merupakan sebuah keberuntungan yang sebenarnya nggak beruntung-beruntung amat sih. Akhirnya saya duduk di bawah. Saya sampai lupa untuk menyuguhi teman-teman saya karena keasyikan bercanda.
Lalu, saya mengeluarkan makanan dan minuman yang sudah disiapkan oleh Ibu saya sebelumnya.
Eh, setelah dikeluarkan bukannya latihan, malah pada ngemil; terutama Ilham. Bahkan ia sampai membawa toples keripiknya, sehingga teman-teman yang lain tidak kebagian.
Acara ngemil tersebut terhenti oleh Tyo yang mulai bosan. Ia berkata:
Ieu teh deuk latihan atawa moal?” tanyanya.
Melihat seperti itu, segera saya menyuruh yang lain untuk segera latihan. Dan berkat Tyo, akhirnya latihan dimulai. Pa-dahal Tyo sendiri malah berdiam pada saat latihan. Karena alasannya tidak membawa alat musik.
Semua menjadi duduk di karpet kecuali Tyo. Di karpet tersebut kita duduk melingkar. Dimulai dari Ilham-Tyan-Feby-Sheny dan saya yang berada di sebelah pintu; yang berha-dapan dengan Tyo.
Namun sepertinya Tyo tak bisa menyembunyikan keboho-ngannya saat Tyan berkata pada yang lain bahwa ia mem-butuhkan selang pianika. Dengan kebaikan Tyo, ia lalu me-ngeluarkan selang pianika dan segera memberikannya pada Tyan.
“Tyo,” kata saya “katanya nggak bawa alat musik?”
“Kata siapa?” jawab Tyo sambil mengeluarkan pianika-nya dan memasukannya kembali ke dalam tas ‘EIGER’ hi-tamnya..
Karena kebetulan tidak dipakai, saya sengaja meminjam-nya. Dan ia sungguh baik, ia mau meminjamkannya pada saya. Dan latihan pun di lanjutkan.
Pertama-tama Tyan dan Feby yang memainkan alat mu-siknya, kemudian Sheny. Sedangkan saya dan Tyo hanya melihat mereka bertiga memainkan alat musik; Ilham malah asyik-asyikan melanjutkan ngemilnya yang sempat tertunda.
Melihat Ilham seperti itu, Tyan langsung marah pada pa-carnya itu.
“Ilham, kamu tuh latihan bukannya ngemil!”
“Ah, da saya mah gak bawa alat musik.”
Ari harmonika bukan alat musik?”
Daaa… gak bisa main-in-nya.”
Pertentangan tersebut pecah saat Feby memisahkan mereka berdua.
“Udah-udah latihan lagi yuk, yan?”
Feby mengalihkan pikiran Tyan untuk latihan kembali. Dan karena kedewasaan Tyan, akhirnya ia pun mengalah.
Tyo yang berada tepat disamping Ilham bukannya mele-rai, malah melihat dengan tampang lesunya yang mengge-maskan. Sama halnya dengan Tyo saya pun hanya bisa me-nyaksikan pertengkaran kecil pasangan ini.
Dari pada diam saja, lebih baik saya mencari kesem-patan.
“Tyo nanti kamu mau bawa apa?” tanyaku. Niat bertanya pada Tyo tapi malah dia jawab oleh Ilham.
Dék mawa kantong nu eusina buku.”
“Ihh… “ saya memanja, “mau bawa apa Tyoooo?”
“Ah kayaknya mau bawa beras wéh.” jawab Tyo.
“Tapi kudu sakarung mawana?” sambung Ilham. Lalu semua tertawa karena ini.
“Siapppp.” sahut Tyo dengan lunglai.

W¥X

Acara selanjutnya adalah makan-makan.
Saya sebetulnya ingin dibantu Tyo dengan alih-alih me-manggil Tyan. Saya menyuruh Tyan untuk menghidangkan makanan dari dapur menuju ruang tamu. Tapi, Tyan agak ragu untuk membantu saya. Kemudian saya ajak Ilham, tapi malah menyuruh Tyo untuk membantu saya. Karena tidak ada yang mau, akhirnya Tyan mau untuk membantu saya.
Diawali oleh Tyan, semua jadi ikut membantu termasuk Tyo. Tapi sayangnya, saat Tyo baru beberapa langkah dari ruang tamu, saya keburu sudah mendekati ruang tamu dan akhirnya Tyo tidak jadi membantu saya.
Lalu, semua mengambil piring yang tadi saya bawa. Kita semua makan di atas karpet melingkar. Dan ke-betulan saya duduk di sebelah Tyo.
Ilham yang sudah kelaparan langsung mengambil piring lalu Tyan  menuangkan nasi pada piring Ilham, kira-kira wak-tu itu tiga céntong nasi. Ia juga langsung mengambil lauk pauknya dan dalam seketika piring Ilham sudah dipenuhi dengan makanan. Semua menggelengkan kepala saat Ilham makan dengan lahap. Kemudian semua langsung makan.
Selepas makan-makan selesai, acara selanjutnya adalah cuci tangan. Yang duluan cuci tangan adalah Tyan dan Feby. Saya kira mereka cuci tangan di keran, nyatanya mereka cuci tangan di kamar mandi. Melihat seperti itu saya lang-sung tertawa melihat ke-so’ tau-an mereka berdua. Saya menganjurkan agar cuci tangan di keran. Ilham yang sedang berada di belakang saya mendengar apa yang saya katakan dan langsung menyerobot menuju keran yang disusul oleh saya dan Tyo.
Ketika selesai mencuci tangan Tyo menciprat-ciprat air yang masih tersisa di tangannya yang basah. Mata saya keli-lipan akibatnya. Ilham juga tak luput melakukan hal yang sama seperti Tyo.
Saat saya diciprati oleh Tyo, secara reflek saya berkata padanya:
“Dasar Tyo jelek!”
“Ah,” sahut Ilham, “Tapi bogoh kan?”
“Hehe.”
Setelah kenyang makan, Tyan mempropokasi membawa-kan piring-piring kotor ke dapur yang di ikuti oleh teman-teman yang lain. Tanpa diduga, Tyo pun ikut membantu membawakan nasi yang kemudian diserahkan pada saya.

W¥X

Saat semua sedang mengistirahatkan perut masing-masing, Tyo mengambil hp saya yang tergeletak di tempat yang saya duduki tadi. Saya tidak ingat alyas lupa jika banner di hp saya adalah:

. TSP .

“TSP” ini merupakan inisial orang yang memegang hp saya, atau (T)ri (S)eptyo (P)rabowo. Saya melihat kejadian ini saat saya baru memasuki ruang tamu. Astagfirullah, saya langsung berlari menghampiri Tyo yang sedang mengotak-atik. Begitu saya sampai di sebelahnya, saya langsung me-rampas hp yang berada di tangannya.
Tuh da kamu mah baca-­in sms?” saya mengalihkan per-hatian Tyo, padahal yang sebenarnya adalah takut jika ia mengetahui banner hp saya yang menjadi sebuah tanda-tanda baginya. Dan saya segera mengahampiri Tyan untuk mengatakan ini. Namun ternyata sungguh sulit, karena Tyo terus memperhatikan gerak-gerik saya. Dengan alih-alih me-minjam hp Tyan, saya mengetik sebuah pesan yang beri-sikan kejadian tadi. Setelah selesai mengetik, segera saya berikan hp tersebut kepada pemiliknya.
Sama halnya dengan saya, Tyan pun kaget mengetahui hal ini. Saya cemas dan saya merasakan keringat dingin me-ngalir dalam tubuh saya.
Beberapa detik kemudian, Tyan memberikan hp-nya pada saya lagi. Dan setelah saya lihat layarnya… ternyata kata-kata motivasi yang ia berikan pada saya.
Hal tersebut malah memperbesar kecemasan saya. Dan ketika sedang cemas-cemasnya…
 “Euy,” Tyo berkata “ieu mah lain-na latihan kalah makan-makan.”
“Bae atuh Yo,” sahut Ilham “itung-itung ulin.”
Setelah percakapan singkat tersebut, suasana hening sejenak. Posisi duduk pun berubah ketika kita melanjutkan latihan. Saya melihat Tyan yang sedang duduk lemas di kar-pet, menghabiskan minuman botolnya. Inspirasi pun muncul dari situ. Tyo tadi berkata bahwa ia akan membawa botol berisi beras, saya langsung mengambil botol tersebut dan langsung memberikannya pada Tyo untuk kemudian di isi dengan batu (sementara). Tyo sepertinya mengambil botol dari tangan saya terlalu lama dan akhirnya saya pun melem-par botol tersebut, dan tanpa disengaja mengenai mukanya.
“Cepet‼” sentak saya. “Masuk-in batu, sana di luar‼”
Tapi sentakan saya tak di hiraukankan oleh Tyo. Ia malah memutar-mutar botolnya. Dan akhirnya ia pun keluar men-cari batu untuk kemudian diisinya kedalam botol yang tadi saya berikan padanya.
Setelah diluar, ia bagaikan orang linglung yang sedang mencari sesuatu. Tapi… tak lama ia pun langsung kembali ke dalam rumah. Kemudian ia segera duduk di sebelah Il-ham yang sedang menghabiskan keripik singkong.
“Ah Nit, kiripikna saeutik deui?” tanya Ilham pada saya.
Melihat seperti itu, teman-teman yang lain jadi berebutan mengambil keripik singkong yang tinggal bubuk-nya terse-but. Namun, usaha mereka gagal dikarenakan Ilham lang-sung memindahkan toplesnya yang tadi berada di se-belah utara, menjadi ke sebelah selatan. Dan Tyo yang be-rada di sebelah selatan Ilham pun mencoba mengambil, tapi sa-yangnya Ilham dengan segera, memindah-mindahkan toples plastik tersebut agar tidak ada yang kebagian. Akhirnya de-ngan tidak adil, Ilham membagikan keripiknya. Karena hal tersebut, latihan menjadi terhenti sejenak sampai keripik singkong manis pedas habis.
Tapi, tak lama kemudian latihan dilanjukan kembali. Pada latihan kali ini, semua memainkan alat musik kecuali saya; Tyan dan Feby memainkan pianika, Sheny memainkan recorder, Tyo memainkan botol berisi batu dan Ilham memu-kul-mukul toples plastik yang tadi berisi keripik.
Setelah latihan dirasa cukup, kita berdiam untuk me-ngobrol. Dan kejadian yang tidak saya duga, datang meng-hampiri.

Tyo masih duduk di kursi tempat tergeletkanya hp saya. Kebetulan kursi di sebelahnya kosong, melihat situasi dan kondisi yang demikian, dengan perlahan saya mengambil posisi.
Ketika itu semua sedang mengobrol dari A sampai Z. Saya menyenderkan kepala saya pada pundak kursi sambil memainkan hp Ilham. Dan tanpa sengaja, hp Il-ham terjatuh dari tangan saya. Alhasil Ilham melototi saya. Dan karena takut marah, saya langsung me-nyimpannya di meja.
Sekitar beberapa detik kemudian, tanpa di sadari Tyo pun mengikuti saya: menyenderkan kepala pada pun-dak kursi. Yang kebetulannya, saya menyenderkan ke arah Tyo berada dan Tyo pun menyenderkan kepala-nya ke arah saya. Aaw…aaw…aaw… mesranyaaa…
Pantas saja Ilham dan Tyan yang berada di depan saya sedikit binggung keheranan. Hal itu jelas karena melihat saya dengan Tyo yang me-lakukan hal seperti yang saya katakan tadi.
Namun, pada dasarnya saya yakin Tyo masih sadar: karena ia beberapa kali menolehkan wajahnya ketika saya berbicara (masih sambil menyenderkan kepala). Dan tentunya saya juga sadar akan hal ini, karena saya berprinsip UUK yang merupakan singkatan dari Ujung-Ujungnya Kesempatan

Lalu, saya berpindah: menjadi duduk di karpet.  Kemu-dian, Ilham dan Tyo memutar musik di hp mereka. Yang mana musik tersebut adalah lelucon.
“Ah teu ngartieun!” celetuk Tyo sambil menunjuk kepada saya. Karena memang saat itu saya tidak tertawa karena tidak mengerti, terlebih bahasa yang digunakan adalah bahasa “alien”.
Tanpa terasa waktu telah menunjukan pukul 15.00 WIB. Tiba saatnya Tyo meronta pulang. Sebenarnya Tyo sudah merencanakan kepulangannya ini sejak satu jam yang lalu, namun karena rayuan maut Ilham akhirnya ia mau untuk ti-dak pulang lebih awal. Tapi sayangnya kali ini ia keukeuh pada keputusannya, karena lagi-lagi alasan ‘motornya’.
Kemudian Sheny juga berkata yang demikian pada Tyan-Feby-Ilham-saya, dikarenakan Ibunya terus mengirimkan pesan agar ia cepat pulang. Tapi anehnya, saat Tyo meron-ta-ronta ingin pulang, saya, Tyan, Ilham mencegahnya; se-dangkan Sheny malah dibiarkan begitu saja. Saya sendiri sebagai saksi sekaligus penulis pun tidak mengerti menga-pa hal ini bisa terjadi demikian.
Dan dengan terpaksa, saya merelakan kepulangan Tyo (ke rumahnya di Ujungberung). Lalu disusul Sheny yang ke-luar dari rumah saya.
Ketika saya mengantarkan mereka berdua ke teras rumah, Tyo yang sudah memakai sepatu dan sudah berada di gerbang; sedangkan Sheny masih memakai sepatunya, dari dalam rumah Ilham berkata pada saya.
“Nit, béjakeun ka si Tyo, tungtun kitu si Sheny.”
Dengan segera saya mengatakan hal yang dikatakan Ilham pada saya.
“Tyooo!” saya memanggil dan ia menjawab dengan sedi-kit menengadahkan kepalanya, “ceuk si Ilham tungtun si Sheny.
Bukannya menjawab dengan perkataan, eh malah jawab dengan mengacungkan jari tengahnya pada saya. Dasar ku-rang ajar tuh anak!
“Hati-hati ya Tyo?” teriak saya dengan buru-buru.
Segera saya masuk kembali ke rumah, dan sampai lupa tidak mengucapkan ‘hati-hati’ pada Sheny.

W¥X

Setelah kedua orang anggota kelompok saya pulang, Tyan dan Ilham mengajak saya untuk memancing di kolam ikan di depan rumah saya. Dengan senang hati saya menu-ruti kedua “orang tua” (palsu) saya.
Ilham menanyakan pada saya apa umpan yang akan kita gunakan untuk memancing. Saya berpikir sejenak. Bebera-pa menit kemudian, saya teringat jika Ayah (asli) saya me-nyimpan umpan pelet-nya di tas memancing yang dimiliki-nya.
Dengan segera saya mengunjungi dapur dan mengham-piri tas mancing yang tergantung di belakang pintu. Karena tidak sampai untuk mengambil umpannya, saya memindah-kan tas mancing yang semula menggantung dan kini terge-letak dibawah. Dan akhirnya sesuatu yang saya cari, dite-mukan.
Untuk membuat umpan memakai pelet harus dicampur-kan dengan air hangat. Entah mengapa, saat saya mengam-bil air hangat di rumah nenek (asli) saya, saya lupa menyim-pan pelet yang tadi saya bawa.
Kemudian saya berkata pada Tyan-Ilham-Feby jika saya lupa menyimpan umpannya. Alhasil, semua mencarinya dari ruang tamu ke dapur dan sebaliknya. Namun naas, umpan tersebut tidak ditemukan. Dan sampai akhirnya adik (asli) saya menemukan pelet-nya di rak sepatu. Sontak kejadian ini membuat yang lain tertawa termasuk saya sendiri.
Setelah pelet-nya ditemukan, saya langsung meracik pelet  dengan air hangat yang sudah saya bawa dari rumah nenek tadi. Tyan-Feby-Ilham hanya melihat saja, karena pelet ini memiliki bau yang tidak sedap; bagi saya itu hal yang sudah biasa karena sudah biasa membuat umpan, dan hampir tiap minggu saya meracik bahan-bahan umpan yang memang memiliki bau yang kurang sedap, seperti: bau ikan tuna, bau amis minyak ikan, dan sebagainya.
Dan sekarang umpan sudah menjadi seperti bola yang teksturnya kalis. Dengan tidak sabar Ilham mengeret saya keluar. Saat diluar Ilham berebutan sandal jepit dengan saya. Ilham memakai sandal-coklat yang merupakan punya saya. Padahal masih banyak sandal-sandal jepit lain. Hanya saja sandal saya ini memang banyak digunakan oleh ABG terutama laki-laki; sedangkan sandal yang lain adalah sandal jepit swallow.
Feby dan Tyan yang melihat kejadian ini bukannya mele-rai, malah menertawakan sikap saya dan Ilham yang seperti anak kecil: berebutan sandal.
Akhirnya saya mengalah. Saya jadi menggunakan sandal kétéplék. Tyan menggunakan sandal swallow-biru, dan Feby menggunakan sendal swallow-kuning. Selepas itu, kita ber-tiga langsung pergi menuju kolam ikan yang berada di luar pagar rumah saya.

W¥X

Sesampainya di kolam ikan, Ilham sudah tidak sabar me-lempar kail ke kolam. Begitu saya selesai memasangkan umpan pada kail, dengan cepat ia menarik senar dan mem-buat saya kaget.
Sekitar dua detik kemudian ia langsung melemparkan kail. Saya kira ia becus untuk melakukan hal ini, tapi nyata-nya? Kail yang di lemparkan Ilham hanya berjarak sekitar satu meter dari tempat saya-Tyan-Feby-Ilham duduk. Masa cowok gak bisa mancing sih? pikir saya dalam hati.
Namun ternyata kegagalannya tersebut bukanlah akhir baginya. Sudah beberapa kali ia melempar umpan, tapi be-lum juga terlempar sesuai harapan. Dari pada lama, saya langsung meraih gulungan senar yang di bawa Ilham dan langsung turun mendekati kolam dan “…hap…” umpan ter-lempar cukup jauh.
Setelah dirasa cukup, saya langsung naik ke atas dan duduk di samping Ilham yang memegang gulungan senar.
Sudah hampir lima belas menit berlalu, namun kail be-lum ada yang nyangkut. Setiap kail bergoyang sedikit, Ilham langsung menarik; begitu seterusnya sam-pai mereka mera-sa bosan. Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pu-lang.
UTS BIKIN PANAS !
9

S
ENIN, tanggal 11 Oktober 2010 merupakan awal murid-murid SMPN 8 Bandung menghadapi Ujian Tengah Se-mester. Kebetulan hari itu tidak dilaksana-kan upacara bendera sebagaimana semestinya, tapi melaksanakan pem-binaan yang dibina oleh wali kelas masing-masing. Dan beruntung, wali kelas 8A (Ibu Hj. Imas Komariah,S.Pd) sedang melaksanakan diklat (pelatihan), dan akhirnya pem-binaan pun dibina oleh Ibu Cucu Cahyati,S.Pd.
Yang beliau bicarakan adalah mengenai rok dan menge-nai ikat rambut. Memang pada saat itu di sekolah sedang marak-maraknya penggunaan ikat rambut yang biasa di-sebut sosis, cara memakainya pun seperti mau pergi mandi. Ibu Cucu kemudian menyepét mengenai hal ini. Dan kebe-tulan satu-satunya teman sekelas saya yang memakai ikat rambut tersebut adalah Putri. Lalu Bu Cucu juga menghim-bau agar memakai ikat rambut yang biasa-biasa saja.
Hal kedua yang Ibu bicarakan adalah mengenai rok. Hati saya ketika itu tak tenang, karena tidak me-makai rok ram-ple yang diinstruksikan oleh sekolah. Ibu Cucu juga tak lu-put menyepét hal ini. Tapi untungnya yang memakai rok pendek bukan saya saja, tapi ada satu orang lagi, Balqis. Saat Bu Cucu membicarakan rok, Tyan dan Feby juga meli-rik ke arah rok saya sambil senyum-senyum yang artinya meledek.
Setelah sekitar empat puluh menit Bu Cucu ber-bicara di depan kelas, bel sekolah berbunyi tanda masuknya jam UTS.
Setelah Bu Cucu keluar, dari speaker kelas ada sebuah suara yang berasal dari Ruang Guru yang merupakan suara guru PPL.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Kepada anak-anak di mohon untuk duduk sesuai absen…” penggalan yang saya ingat.
Semua kecewa atas hal ini. Padahal, semua siswa di kelas sudah memposisikan diri agar mudah mendapat ban-tuan dari teman yang lain. Dan akhirnya, semua pun duduk pada posisi yang telah ditentukan. Dan WOW‼ Ketika saya melihat ke belakang, karena nomor absen Tyo adalah ke empat puluh tiga dari empat puluh empat siswa, ternyata Tyo duduk dengan Varin. Ilham yang mengetahui hal ini ma-lah meledek saya, dan berkata:
“Panassssss…”
Jujur saja saya memang cemburu, tapi apa boleh buat. Karena:
1)     Sudah ketentuan sekolah;
2)     Saya dan Tyo hanyalah sebatas teman.
TANPA DIDUGA
10

U
TS pada hari kedua adalah matematika dan PKN. Pada UTS matematika sih yakin bakal nilai gede, kare-na materi yang di ujiankan sudah saya kuasai sepe-nuhnya. Saya mengerjakannya dengan mudah, tanpa te-ngok sana-sini.
Tapi begitu saya membaca soal PKN, BEUH‼! Yang saya hapalkan semalam suntuk tidak semua keluar. Yang saya hapalkan kemarin hanya satu-dua saja yang keluar.
Setelah soal dibaca, ternyata soal berasal dari buku LKS (Lembar Kerja Siswa), sedangkan sumber hapalan saya ber-asal dari buku paket.
Linglung, adalah perasaan yang saya rasakan ketika itu. Bingung, adalah satu kata yang mewakili ketidak-tahuan saya. Dan anehnya, meskipun sedang dilanda kebingungan saya masih sempat-sempatnya memikirkan Tyo. “Apakah Tyo bisa atau nggak?”
Saat ujian sudah menempuh waktu selama tiga puluh menit, Gustiana (Ije) bertanya kepada saya. Namun karena saya duduk di paling depan, saya tidak berani memberitahu Ije yang duduk di agak belakang. Akhirnya saya menyaran-kan Ije untuk mengirimkan pesan lewat hp, namun ternyata Ije tidak memiliki momor hp saya dan saya juga tidak memi-liki nomor hp Ije yang baru. Dengan hati-hati saya memberi-tahukan nomor hp saya menggunakan jari. Dan Ije pun memperhatikan jari saya dan langsung menuliskan nomor yang saya sebutkan tadi.
Beberapa menit kemudian, hp saya menyala. Saya lihat ada pesan masuk dan saya yakin itu adalah pesan dari Ije. Lalu saya mebalasnya.
Yeahhh!!! Akhirnya saya mempunyai nomor orang endut ini. Karena waktu kelas tujuh dulu Ije ini satu kelas dengan Tyo. Dan saya bisa tanya-tanya tentang Tyo, meskipun tidak sampai seluk beluknya.
Dan pada sore harinya saya mengirimkan pesan pada Ije:
“Je, ari mantannya Tyo teh siapa aja?”
Dan tak lama kemudian…
Si Dhea,” balasnya.
Lalu saya balas lagi…
Si Dhea aja gitu?”
“Gak tau atuh”
Dari situ, saya masih heran alyas bertanya-tanya. Masa ia sih si Tyo ini mantannya cuma satu?
Percaya tak percaya saya harus terima, karena saya tak mungkin menanyakan hal ini pada orangnya langsung.

W¥X

Pada keesokan harinya (13/10), dengan semangat saya melangkahkan kaki di Sekolah yang “kata-nya” men-jadi sekolah favorite di Kota Bandung ini.
Ketika sudah agak sampai di depan pintu kelas yang terbuka saya melihat ada Ije dan Anna yang sudah standby sejak dari tadi. Ketika baru sampai di ambang pintu kelas, Ije berkata pada saya:
“Nit maneh bogohnya ka si Tyo ?” sambil tersenyum ra-mah “Da si Tyo gé bogoheun ka maneh!”
WOW!!! Pernyataan Ije barusan membuat hati saya tak tenang dibuatnya. Bayangkan saja ia langsung celetuk ber-kata seperti itu. Saya tidak percaya mengetahui hal ini. Ije mungkin saja berbohong pada saya; tapi, dari pernyataan-nya barusan sepertinya ia mengatakan dengan sungguh-sungguh. Selepas itu, ia memaksa pada saya.
Heueuh kan Nit? Ah tong bohong!
Dan tanpa disengaja saya mengatakan yang sebenar-nya pada teman saya yang satu ini. Dan ia pun langsung meledek saya. *) Dasar.
Pada saat setelah UTS pun ia tak henti-hentinya mele-dek saya. Saya pun jadi malu dibuatnya.
Dan dari semenjak itu saya menaruh penuh harapan pada TRI SEPTYO PRABOWO. Dan yakin bahwa ia juga me-miliki hal yang sama (menyimpan rasa).

Dan akhrinya seminggu berlalu, Tyo tidak duduk dengan Varin lagi.
NGGAK PENTING TAPI AGAK MENARIK
11

B
ANGGAL 19 Oktober 2010, kita di Sekolah KBM seperti biasa. Dan saya beruntung hari itu, karena pelajaran hari Selasa adalah Fisika, Bahasa Indonesia, IPS, dan BK. Dari ke-empat pelajaran tersebut ada yang paling saya senangi yaitu, Fisika. Namun, guru yang bidang study  terse-but sedang sakit, dan akhirnya selama berminggu-minggu, kelas 8A, 8B, 8C dan 8D tidak mendapatkan pelaja-ran yang saya senangi ini.
Tapi kali ini saya beruntung, karena Pak Lala, seorang guru Fisika kelas sembilan ini menggantikan guru Fisika saya, Bu Eko.
Setelah membaca do’a dan tadarus Al-Qur’an, Pak Lala masuk ke kelas kita dan langsung mendapat salam hangat dari kelas 8A. Dan Pak Lala pun men-jawab salam kami de-ngan senang hati. Tak lama ia pun langsung berkata.
“Belajarnya di Laboratorium IPA ya?”
Lalu kami langsung bergegas meninggalkan kelas.
Setibanya di Lab., kita dituntut untuk duduk berkelom-pok. Dan kelompok saya yang terdiri dari: saya, Tyan, Feby, Azizah, Amar, dan Martin langsung menempati meja yang sebenarnya sudah di tempati orang.
Ketika belajar pun serunya bukan main. Bentuk penyam-paian yang di berikan mudah di pahami, dan selalu mem-be-rikan contoh pada setiap materi yang diajarkannya. Dan ketika itu juga saya mengatakan:
“I LIKE IT”, Sambil mengacungkan jempol.
Namun naas, tanpa terasa waktu harus berlalu, sehingga pertemuan kali ini harus di cukupkan sekarang. Dan dengan gelisah bercampur bahagia saya keluar dari Lab. sambil me-nenteng buku.
Pelajaran diteruskan dengan bidang study ‘Bahasa Indo-nesia’. Ketika gurunya masuk, saya sudah mencium ketidak-beresan.
Baru sekitar beberapa detik setelah menjawab salam, guru ini (Bu Euis Ida) langsung mengoceh. Rupanya beliau membahas tentang nilai yang kurang memuaskan alyas di bawah KKM, yang mana KKM Bahasa Indonesia adalah 7,5. Hampir ± 95.45 % dari empat puluh empat siswa mendapat nilai yang mengecewakan, dan sisanya mungkin dianggap  lumayan.
“Yang di atas KKM…” kata Bu Euis Ida sambil membaca kertas yang berisi nilai kelas 8A tersebut, “cuma…” bebera-pa detik kemudian, “Ilham Nugraha. Mana Ilham?” sambil menggerakan kepalanya untuk mencari Ilham. Lalu dengan bangga Ilham mengacungkan tangannya. Dan semua melirik pada cowok berhidung besar ini.
“Trus’ ini juga ada yang pas KKM…” beliau menambah-kan, “Tri Sepyto. Sama…” selang beberapa detik, “A… a… Anita Fitriani.”
WEW!!! Saya kaget bukan main. Mana Ilham-Tyan-Feby ngeliatin. Recok perasaan saya pada hari itu. Saya pura-pura tidak tahu saja ketimbang nanti teman-teman yang lain tahu, urusan tambah rumit. Dalam hati saya “Kenapa harus aku? Kaya nggak ada yang lain aja. Tapi nggak apa-apa lah permulaan. Hahaha.


TERBENTUKNYA TRIO PETOK PETOK
12

D
I hari yang sama (19 Oktober 2010), pada jam yang sama, seperti biasa saya dan Feby meluangkan wak-tu untuk pergi ke ‘Markas’ alyas W.C . Ketika itu saya sudah tidak enak dalam menghadapi proses pembela-jaran yang tidak sempurna. *) So’ puitis. Maklum materi yang di pelajari sekarang adalah Bahasa Indonesia menge-nai membuat petunjuk ‘cara membuat es krim’.
Saya melihat jam yang berjalan begitu lambat menuju pu-kul 09.40 WIB yang tinggal sepuluh menit dari sekarang (09.30 WIB). Dari pada menunggu lama lebih baik saya me-mutuskan mengajak Feby untuk pergi ke W.C. Dan untung-nya Feby mau menerima ajakan saya.
Kami berjalan menuju meja guru untuk meminta izin kepa-da guru PPL yang sedang menggantikan Ibu Euis Ida yang berada entah dimana.
“Bu,” panggil saya dengan memelas, lalu Ibu PPL tersebut melihat wajah saya, dan sepersekian detik kemudian saya meneruskan, “Izin ke toilet.”
Ternyata si Ibu tersebut menjawab dengan senyumannya sambil mengangguk kecil dan langsung kembali membaca.
Lalu kita berjalan menuju pintu kelas. Dan seperti biasa, saya suka menghentikan langkah kaki saya saat berada di ambang pintu, yang tujuannya agar Feby tabrakan dengan saya, terlebih Feby orangnya ‘tukang nyeruduk’. Dengan ref-lek Feby memukul pangkal lengan saya dan menendang kaki saya menggunakan dengkulnya. Dan seketika itu juga saya hampir terjatuh. Tapi untungnya saya bisa menyeim-bangkan berat badan, saya agar tidak terjatuh.
Kemudian kita berjalan. Rupanya di luar kelas suasana berbeda sekali dengan di dalam kelas yang memberi kesan jenuh. Hanya butuh beberapa langkah untuk sampai di ‘Markas’.
Dan ketika saya sampai di ambang pintu toilet, tidak biasa-nya sepi. Padahal, biasanya jika menjelang istirahat, toilet sudah di penuhi oleh para kakak kelas.
Dan dengan leluasa saya merapikan rambut yang sudah acak-acakan.
“Nit, kita téh kemana-mana meni suka bareng bareng waé kayak Trio Kwek-Kwek aja,” kata Feby sambil merapikan ke-rudungnya, “Nya Nit?”
“Trio Kwek-Kwek mah punya orang,” sahut saya, “harus punya nama baru atuh!”
“Apa namanya sok?”
“Ah, Trio Petok-Petok aja weh?”
“Ahahaha,” tawa Feby sambil merem, “aya-aya waé kamu mah.”
Setelah percakapan tersebut, kita langsung pergi mening-galkan tempat tongkrongan saya dan Feby tersebut. Kita berjalan lagi untuk sampai di kelas. Saat berjalan pun tak henti-hentinya kita berdua mem-bicarkan mengenai Trio Petok-Petok dan tak jarang diiringi tawa serta gurauan-gurauan kecil.
Dan sama halnya seperti tadi, ketika saya sampai di am-bang pintu saya menghalangi Feby yang akan masuk kelas. Dan sama sepeti tadi pula, Feby memukul pangkal lengan saya. Dan kita pun masuk.
Saya menghampiri Tyan dan langsung membicara-kan yang tadi saya bicarakan, dan saat itu juga kita bertiga ter-tawa. Dan dari sejak saat itu
“Tanggal 19 Oktober 2010 merupakan awal terbentuknya TRIO PETOK-PETOK. Yang mana tempat terbentuknya bera-da di Markas (WC) Sekolah.”
PERISTIWA-PERISTIWA
13

1.      Jum’at, 17 September 2010
-          Awal merasa keganjilan atas Tri Septyo Prabowo, yang memperhatikan saya.
2.      Selasa, 28 September 2010
-           Latihan Seni Budaya, bersama Tyan, Feby, Ilham, Tyo, dan Kurniawan.
-          Lelucon seputar ‘Bakso’, yang diprakarsai oleh Ilham.
-          Menceritakan perasaan saya terhadap Tyo, kepada Tyan.
3.      Rabu, 29 September 2010
-          Tyan-Ilham, Feby-Rizal, dan Yoga bermain di rumah saya.
-          Mengunjungi rumah Satria.
-          Bermain sekaligus berfoto-foto di sawah.
4.      Senin, 4 Oktober 2010
-          Latihan Seni Budaya kembali.
-          Di Angkutan Umum, bertemu dengan Satria. Yang mana kita duduk saling berhadapan.
-          Setelah turun dari Angkutan Umum, saya dan Tyo jalan berdua.
-          Ketika sedang berjalan, saya dan Tyo tertawa sambil melirik satu sama lain.
-          Makan-makan.
-          Duduk sambil menyederkan kepala pada kursi: saya ke arah Tyo, dan Tyo ke arah saya.
-          Mancin ikan, tapi tidak mendapatkan hasil.
5.      Senin, 11 Oktober 2010
-          Hari pertama Ulangan Tengah Semester (UTS).
-          Saat mengerjakan ulangan, Tyo duduk dengan Varin. Yang membuat saya merasa agak tidak enak (risih).
6.      Selasa, 12 Oktober 2010
-          Hari kedua Ulangan Tenagh Semester (UTS).
-          Mendapatkan nomor handphone Gustiana Fahmi (Ije).
-          Menanyakan ‘mantan’ Tyo kepada Ije.
7.      Rabu, 13 Oktober 2010
-          Saya mendapat kabar dari Ije jika Tyo menyukai saya (katanya).
8.      Senin, 18 Oktober 2010
-          Tyo tidak duduk bersama Varin lagi.
9.      Selasa, 19 Oktober 2010
-          Belajar Fisika.
-          Pada saat pelajaran Bahasa Indonesia, saya dan Tyo mendapat nilai yang sama. Meskipun tidak bagus (75).
-          Terbentuknya Trio Petok-Petok.
AKHIR KISAH
13

Realita kenyataan hidup yang tidaklah mudah, membuat saya terdorong untuk menuliskan kisah ini. Meski tidaklah mudah untuk mencapai akhir, namun karena dasar keinginan dan kemauan yang sangat teramat kuat, mem-buat saya terus menceritakan keseharian hidup seorang remaja putri yang mencari jati diri bersama para sahabat-sahabatnya.
Mungkin dengan inilah saya bisa mencurahkan rasa ke-canduan saya akan bersahabat. Meski dirasanya tak mudah, namun saya tahu bahwa saya sanggup dengan se-mua yang ada dalam genggaman walau nanti pasti kan pergi bersama rasa bosan.
Hari bergulir hari, kenyataan hidup yang di alami menun-jukan kesiapan diri. Untuk bersemayam di cinta terlarang, dalam kehangatan persahabatan.
Mungkin ini bukan akhir yang sempurna, namun dengan segala bentuk kekurangan, saya meminta maaf bila akhir cerita membuat anda bertanya-tanya. Karena memang begini adanya.